Jumat, 30 April 2021

Ramadhan dalam Kesendirian

"Buk, boleh sebulan ini aku ke pondok lagi?"

"Kalau ibuk boleh-boleh saja, tapi keputusan di Abahmu."

Aku pun mencari Abah saat itu juga. Abah sedang bekerja di belakang rumah. Aku menghampiri beliau.  

"Bah, boleh aku Ramadhan ini ke pondok lagi?"

"Kapan terakhir daftar? "

"Jadi dibolehin? Ye, nanti aku tanya temenku tentang informasi pendaftaran dll."

...

"Mbak, tolong bagikan kertas ini ya ke para santri, sebelum terawih dimulai". 

"Iya Bu". 

"Subhanal malikil quddus, subbuhun quddusun robbuna wa rabbul malaaikati war ruh" para santri melafadzkan dengan kompak.

"Mbak, ayo segera ke mushola,  tadarus sudah dimulai. Bagi yang nggak solat juga kumpul,  membaca dzikir dan solawat bareng". 

"Mbak-mbak, nanti setelah tadarus jangan tidur dulu, pengajian di mulai jam setengah sepuluh". 

"Mbak, jadwal siapkan sahur,  jam dua ke dapur ya". 

"Temen-temen bangun, makanan sahur sudah siap". 

"Allahul kaafi robbunal kaafi, qashadnal kafi wajaddanal kaafi, linkulin kafi kafanal kaafi, wa nikmal kaafi alhamdulillah. Hasbunallah wa nikmal wakil,  nikmal maula wa nikman nashir. Wa kafallahul mukmininal qital. Aamiin Ya Allah ya rabbal 'alamin" dzikir para santri menjelang Subuh. 

Setelah solat subuh selesai, para santri mengambil buku catatan, pengajian pun dimulai. 

Matahari sudah menerangi. Para santri bergegas menuju sekolah masing-masing. Setelah pulang sekolah, sore harinya mereka membaca  Al-Qur'an yang disimak satu persatu oleh Ustazah. Setelah itu, pengajian dimulai sampai menjelang berbuka. Setelah berbuka, para santri terawih dan melanjutkan rutinitas, tadarus, pengajian dan seterusnya. 

...

(Hari pertama puasa)

"Sudah bangun?".

"Sudah Mbak, terima kasih".

(Hari keempat)

"Mbak maaf panggilannya nggak diangkat, nggak bales pesan juga, lagi nggak solat". 

"Oh iya ya, Aku yang lupa". 

Begitu lah keseharian sahur Sita. Terkadang dia terbangun karena suara alarm, suara panggilan atau pun aktivitas nyamuk yang berterbangan. 

Entah Ramadhan keberapa dia habiskan di perantauan. Sejak kuliah dia sudah jauh dari rumah. Bahkan ketika SMA, dia sering mengikuti pondok romadhon di luar. Beberapa hari saja dia berbuka bersama keluarga. 

Ramadhan tahun itu, saat satu bulan sebelum dia berangkat kuliah, dia punya kesempatan satu bulan penuh berpuasa di rumah, tetapi dia memilih hal yang berbeda. Hal berbeda itu jauh dari kesenangan dunia, jauh dari leha-leha. Namun, itu yang  membuatnya bahagia. Dia bahagia karena merasa Ramadhanya bermakna. 

Yang bermakna, yang selalu bertahta di hatinya. Meskipun sedang berada di belahan bumi yang berbeda, meskipun hanya mengikuti pengajian secara online, meskipun sahur dan buka tidak bersama-sama, tetapi Ramadhan tetap di hatinya.

Dia lelah bekerja. Dia lemas, lapar di siang dan sore hari. Dia berusaha membaca Al Qur'an di sela-sela waktu luangnya. 

Ayyamam ma'dudat (2:184), beberapa hari tertentu. Dulu, dia pernah mendengarkan nasihat bahwa hari-hari di Bulan Ramadhan akan berjalan begitu cepatnya. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. 

Dia jatuh bangun membangun semangat ibadah di Bulan Ramadhan. Sendirian, sebuah tantangan baru baginya. Membaca  Al-Qur'an, terawih, sahur, mendengarkan pengajian, dll, dia mencoba mengulang kebiasaannya di Bulan Ramadhan, tepatnya kebiasaan saat di pondoknya. Namun, hal itu tidak semudah yang direncanakan. Semangatnya sering menghilang, bahkan dia masih jauh dari merasakan makna apa yang selama ini dia kerjakan.

...

Aku mencari-Mu dalam lapar hausku. 

Aku mencari-Mu dalam sembah sujudku. 

Aku mencari-Mu dalam hijaiyah ayat-Mu.

Engkau masih begitu jauh. 

Rabbi.. dalam Ramadhan ini, ajari kami mendapati-Mu. (Catatan Halimah)

...

"Ayo nginep sini, biar bisa buka bareng, sahur bareng". 

Aku menjawab dengan senyuman. Dalam hatiku berkata, aku ingin mencari-Nya dalam kesendirian. 


#RamadhanMenulis1442H

#AlArqamBPS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar