Selasa, 15 Februari 2022

Ramadhan di perantauan

Assalamualaikum wr wb
Hai hai hai, gimana kabarnya?

Sekarang ini kita udah berada Bulan Rajab, dua bulan lagi Bulan Ramadhan. Nggak kerasa sudah tiga kali ramadhan aku berada di perantauan. Perantauan yang kumaksud disini adalah di Bumi Pogogul, Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah. 

Dari ketiga Ramadhan yang sudah kulalui, semua punya cerita berbeda. Meski entah ada hikmah atau nggak di cerita kali ini, tapi aku pengen banget cerita disini. 

Ramadhan tiga tahun lalu, tahun 2019, tahun berapa hijriah itu ya? Saat itu aku baru tiga bulanan tinggal di Sulawesi. Ramadhan tahun itu, aku satu kamar dengan temanku yang sama-sama merantau. Jadi, agak nggak berat lah ya, ada temen sahur, buka, temen ke masjid, dll.

Ada beberapa cerita unik saat itu. Pertama tentang siklus haid kita. Dalam tiga bulan kita satu kamar, nggak pernah kita haid dalam waktu yang sama. Namun, saat Bulan Ramadhan itu, waktu nggak solat kita sama persis. Kayaknya cuma beda beberapa jam. Ya, intinya saat itu aku bersyukur, puasanya bareng-bareng, bolongnya juga bareng-bareng. Dulu sempat berpikir, bagaimana kalau diantara kita gak puasa, pasti sungkan mau makan. Lalu, gimana kalau salah satu dari kita nggak solat, berani atau tidak kita berjalan sendiri ke masjid, haha. Ya begitulah pikiran manusia, sering berpikir, mencemaskan banyak hal sebelum sesuatu itu terjadi. Padahal, sesuatu yang ditakutkan, sesuatu yang diribetkan di awal tidak selalu datang menghampiri, Dia punya kehendak yang kadang tidak kita sangka-sangka

Lanjut ke cerita unik berikutnya, cerita unik tentang jamaah solat terawih di masjid. Saat itu kita nggak tau di masjid ini tarawihnya berapa rokaat. Sebenernya sudah ada beberapa pengumuman saat ceramah seusai Sholat Isya', tapi kita nggak paham. Disitu diumumkan imam sholat tarawih delapan rokaat dan imam tarawih 23 rokaat. Kami ikut solat delapan rokaat kemudian witir, lalu pulang. Anehnya, ketika kami pulang, kami mendengar suara pujian, apa ya itu namanya, solawat mungkin, entah lah, nanti kucari itu namanya apa, intinya kami mendengar orang melantunkan sesuatu yang biasa dilantunkan sebelum solat tarawih. Itu lho yang menyebutkan nama khulafaur rosyidin. Dari situ, esoknya kita teliti, ternyata, masih ada jamaah yang lanjut solat tarawih. Jadi, di masjid ini sholat tarawihnya ada yang delapan rokaat, ada yang 20 rokaat. Untuk yang dua puluh rokaat, saat jamaah yang delapan rokaat melakukan witir, mereka tidak ikut, karena setelah witir tersebut mereka melanjutkan solat tarawih dan diakhiri dengan witir. 

Aku kagum dengan toleransi disini. Setahuku, kalau di jawa, jika masjid itu sholat delapan rokaat ya delapan. Kalau mau dua puluh ya cari masjid yang tarawihnya dua puluh rokaat.

Saat masuk kantor, aku pun menanyakan kepada bapak² yang sudah lama merantau di sini. Kata beliau memang begitu, hampir di semua masjid. 

Oh iya,  habis itu beliau mengajak kami bercanda, tapi awalnya kami nggak paham juga, haha. Beliau bertanya dimana kami solat tarawih. Kami pun menjawab di Masjid dekat kos, di Masjid Jabal Nur. Kemudian beliau bertanya, pasti perjalanan kita agak melelahkan. Kami bingung, perasaan dekat, perasaan nggak capek juga jalannya. Lalu beliau menambahkan, capek karena harus naik ke gunung. Dari situ aku baru paham, maksud beliau Jabal Nur yang ada di Mekah. Dalam hatiku langsung berbisik, aamiin, aamiin, semoga suatu saat bisa kesana.

Panjang juga ya ceritanya, ini baru ramadhan tahun 2019, belum selesai juga ceritanya, haha. 

Lanjut satu lagi dari cerita Ramadhan 2019. Waktu itu aku sakit perut. Dan sakitnya terasa ketika sudah di masjid, setelah sholat isya. 

Aku masih ingat, saat itu aku dan temanku tidak satu shof (baris).  Dia di belakangku. Aku saat itu memutuskan untuk balik ke kos, tetapi sebelum itu aku menengok ke belakang dan berbisik padanya. 

Dia pun langsung memutuskan untuk ikut pulang denganku, padahal belum solat tarawih sama sekali. Namun sebelum itu, dia bilang, nanti aku diminta jadi imam. Aku pun mengiyakan, itu lebih baik dari pada aku tarawih sendiri. So sweet banget nggak sih, padahal alasan utamanya adalah kita sama-sama nggak suka berjalan sendiri di malam hari, hehe. Disini itu gelap, apalagi kalau kita ikut jamaah yang dua puluh rokaat, sudah sedikit jamaahnya, jadi pulangnya nggak terlalu rame. 

Lanjut ke Ramadhan 2020, itu ramadhan pertama, aku full melalui ramadhan di perantauan. Ada covid ceritanya, jadi nggak bisa pulang.

Ramadhan tahun itu aku udah pisah kamar sama temenku. Karna covid, kami pun nggak ke masjid. Aku sama temenku solat tarawih berdua. Kalau hari ini di kamarku, esoknya pindah ke kamarnya. Kalau di kamarku, aku yang jadi imam, kalau di kamarnya, dia yang jadi imam. 

Kemudian, saat nuzulul qur'an, kita merencanakan solat tarawih di luar. Akhirnya kita memilih sholat di musola kantor. Disana ada jamaah kecil, ada alm. Bapak Kepala dengan keluarganya. Kebetulan saat itu ibu sedang halangan, jadi hanya ada bapak dengan ponakan beliau. 

Aku masih ingat betul saat kami mau pulang, Bapak berpesan kepada kita, "Hati-hati, sudah malam, hati-hati juga karena satgas sudah mulai menutup jalan". Bapak so sweet banget. Dan betul dekat kos kita sudah ada satgas, tapi alhamdulillah kita lolos. 

Nggak sampai situ aja, aku merasakan kekeluargaan saat lebaran. Saat itu setelah solat ied di musola kantor, ibu mengundang kami untuk makan. Kami makan bersama, berempat di rumah dinas Bapak. Saat itu Bapak Ibu terpisah dengan anak-anaknya, dan kita anak-anak yang terpisah dari orang tuanya. 

Makasih banyak ya Pak, semoga pahala Bapak terus mengalir. Semoga Bapak sekarang berada di taman-taman surga. Aamiin

Sekian cerita ramadhan di perantauan. Yuk kita siapkan Ramadhan selanjutnya dengan lebih baik lagi. Kata-kata yang sering diingatkan oleh Ustazah Halimah, Rajab bulannya menanam, Sya'ban menyiram dan Ramdhan saatnya panen. Kalau nggak ada yang ditanam, apa yang harus dipanen?

Wallahua'lam bis showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar