Minggu, 26 Juli 2020

Tirakatku Menahan Rindu

Tulisan Akhir Pekan

Bismillahirrohman nirrohim, Assalamu’alaikum semuanya. Maaf sudah lama tidak menyapa. Entah beberapa pekan yang lalu, di bulan ini aku hanya menyapa lewat satu kata. Aku meng-upload foto bunga dan memberikan kata, hanya satu saja. Kata itu adalah “yen takdire kudu dikuat-kuatne”. Mengingat tulisan itu, aku merasa seperti sedang galau sekali, haha.

Hari ini aku menyempurnakan kata itu. Eh nggak harus sempurna, setidaknya melengkapinya, membersamainya akan dia tidak sendirian di sana. (Mohon jangan baper ya, haha, biar aku saja).

Aku hari ini lumayan capek, karena banyak aktivitas yang menguras tenaga. Aku ingin cepat tidur tetapi aku merasakan hal yang lebih capek lagi, yaitu menagih janji. Menagih janji? Iya, aku dulu berjanji pada diriku sendiri untuk rajin menulis di sini. Maka dari itu, sebelum akhir pekan ini, aku mau menepati janjiku.

Dari mana aku memulainya? Aku bingung, apalagi kamu, haha.

Aku mau cerita banyak hal yang mungkin bisa dijadikan berkah untuk kita semua (Disini aku mulai mengganti penggunaan kata hikmah menjadi barokah karena kemarin baru diskusi dengan teman setelah kata itu diucapkan oleh idola kita. Kita nyaman dan merasa kata itu lebih ringan dari hikmah).

Juli, yen takdire kudu dikuat-kuatne. Kata itu terinspirasi dari lirik yang sedang dibawakan Mbak Woro. Lha bukan terinspirasi lagi yang betul adalah disalin dari lirik yang sedang beliau nyanyikan.

Aku kemarin mau menyambungkan kata itu dengan foto bunga yang sedang layu. Lalu al hasil hanya kata itu yang terucapkan dariku.

Yen takdire kudu dikuat-kuatne.

Allah itu sayang banget sama hamba-Nya. Saking sayangnya, di dunia ini manusia diberikan beberapa cobaan atau bahkan banyak cobaan. Cobaan atau ujian tidak melulu masalah kesengsaraan atau kesedihan, cobaan itu juga dapat berbentuk sebuah kenikmatan. Aku selalu berusaha mengingat hal itu, sampai sampai aku menulisnya di sebuah unggahan. Tulisannya sebagai berikut:

“Ketika Allah menghendaki kita untuk naik kelas, maka kita akan diuji oleh-Nya. Di dalam ujian inilah kadang kita dimuliakan atau malah direndahkan. Ujian itu bisa berupa ujian menyengsarakan. Namun, ada pula yang berupa ujian kenikmatan. Ujian berupa kenikmatan jauh lebih sulit karena mudah melenakan dan membuat yang diuji kurang bersyukur”.
Kata itu aku dapat dari Gus Mus yang diunggah oleh akun NU. Semoga kata-kata itu selalu menjadi pengingat kita semua.

Lanjut gaes, sebenarnya aku mau berbicara tentang ujian yang menyengsarakan. Gaes, aku kangen, pengen pulang, tapi aku belum bisa pulang untuk sekarang. Kok aku jadi curhat itu, haha.

Aku jarang sih bilang kangen sama ibuk, tetapi beliau selalu mengerti. Beliau juga selalu memastikan aku nggak kabur pulang, haha. Aku sering ditanya, “Kamu nggak ambil cuti kan?”

Aku juga sering diberikan nasihat. Nasihat yang paling ngena pakek banget yaitu ketika beliau bilang kalau menunda kepulanganku sekarang adalah bentuk tirakatku. Tirakat itu nggak melulu soal menahan makan, menahan beli barang-barang, ini juga masuk kategori tirakat menurut ibukku. Eh, tirakat ini Bahasa Indonesia bukan ya, hehe. Aku harusnya menjelaskan arti tirakat kalau ini bukan kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Pemirsa paham kan ya? Jadi aku nggak perlu menjelaskannya panjang lebar.

Menahan rindu adalah tirakatku. Aku mau bikin puisi judulnya seperti itu, tapi ya gimana lagi, aku nggak sempet dan sebenernya malu sih kalau nulis puisi. Aku lebih percaya diri ketika menulis curhatan panjang lebar, hehe.

Wah udah lima ratus kata aja, haha. Lanjut ya.

Menahan rindu adalah bentuk tirakatku, rasanya aku pengen meluk ibukku saat itu juga. Nggak tau kenapa, bagiku, ibuk selalu menjadi seseorang yang paling pintar. Aku sering, bahkan selalu meminta pendapat beliau. Selalu, banyak hal, dari yang sepele sampai hal besar. Obrolan kita dari aku yang kadang bosen ini itu, aku yang pengen beli banyak buku, sampai pada ngomongin penyebab harga ayam naik, dan banyak lagi. Ah ibukku, pekan ini aku belum bercerita karena aku yang terlalu malam menghubungimu.

Tirakat itu bentuk menahan nafsu dunia gaes. Tirakat itu harusnya ikhlas. Kalau berhasil rasanya diri ini bisa merdeka dari nafsu dunia serta dapat mendekatkan pada Sang Pencipta.

Yen takdire kudu dikuat-kuatne, kalau takdirnya harus dikuat-kuatkan, tirakatku menahan rindu, dua kata itu yang sedang kupelajari dalam kehidupan sehari-hari. Eh iya, satu lagi. Kata Gus Baha, kita harus bahagia. Kalau nggak bahagia, kita seakan-akan nggak ridho dengan takdir-Nya. Jadi intinya selalu bahagia ya gaes.

Satu lagi cerita malam ini, tadi seseorang berkata padaku, “Mbak betah (nyaman) ya di sana?”. Aku pun bertanya balik, “Kok bisa kamu menyimpulkan hal itu?”. Dia menjawab karena aku selalu terlihat bahagia. Sontak aku tertawa. Aku memang sekuat diri menyebarkan kebahagiaan. Kalau lagi galau, sedih, aku hanya bercerita pada beberapa yang kupercaya, misalnya ibuk tercinta.

Sudah ya, salam bahagia.
Wallahua’lam bissowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar