Sabtu, 30 Mei 2020

Hati ini selalu Untukmu


Rencana vs Takdir

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, disaat menjelang kelulusan SD, my mom bilang, “Kamu nanti sekolah di SMP X saja. Nanti kamu sekalian mondok, di dekat sekolah itu ada pondok”. Aku sebaga anak penurut, mengiyakan aja. Aku nggak membantah beliau. Aku “manut”. Aku pun karena sudah setuju, menceritakan rencana itu kepada teman-temanku.

Aku masih ingat banget saat acara “kemah”, aku sedikit sedih akan berpisah dengan sahabat kecilku. Namun, satu kata yang aku ucapkan untuk mereka, “Doakan aku mendapat sahabat seperti kalian, yang baik, yang bisa menerimaku”. Aku berharap ada orang lain yang nantinya akan membersamai hari-hariku seperti mereka. Ah, memang, masa kecil selalu bahagia. Saat itu pun aku menyadari dan tidak ingin melepas rasa bahagia itu.

Waktu berlalu, aku bertemu my mom lagi (maklum, aku jarang ketemu beliau, aku tidak tinggal bersama orang tuaku saat aku SD). Ternyata, beliau membawa keputusan yang berbeda. Aku nggak jadi masuk pondok. Namun, sebagai gantinya, aku harus masuk MTs favorit.

Keputusan itu membuatku sedikit kaget. Saat itu, responku nggak sekalem biasanya. Bukan karena aku menolaknya, akan tetapi karena aku ragu dengan diriku sendiri. My mom berharap aku mau ikut tes kelas unggulan, dan aku pesimis banget. Gimana nggak pesimis, aku aja nggak pernah belajar bahasa arab, fiqih, hadist, dll, aku cuma belajar agama secara umum. Aku pun nggak rajin ngaji di luar SD. Sudah lah drama itu selalu bikin aku ketawa, selalu bikin aku percaya bahwa My mom tau segalanya, termasuk kemampuanku.

Tak terasa tiga tahun berlalu. Aku sudah lulus dan sudah diterima di sekolah jenjang selanjutnya. Pertanyaannya, aku akan tinggal dimana. My mom pengen putrinya mandiri. Pengen putrinya nggak ngrepotin ayah di pagi hari (padahal akhirnya tetep dua minggu sekali kebiasaaan itu terulang kembali).

Sekolahku lebih jauh lagi. Aku belum bisa naik motor. Aku belum punya SIM. Aku capek tentunya kalau naik angkutan dua kali setiap satu perjalanan. Yang jelas, my mom ingin anaknya mandiri.

Pilihan pertama My mom adalah asrama putri (iya iyalah putri, masak putra). Aku masih penurut, aku mendaftar di asrama putri. Aku pun ikut tes masuknya.

Di luar dugaan, aku nggak lulus gaes. Aku ditolak, sakitnya tu biasa aja sih, hehe. Aku memang sudah ragu ketika tes wawancara. Namun, kalau dilihat berdasarkan data, memang banyak yang jarak rumah-sekolah lebih jauh dari jarak rumahku ke sekolah. Bahkan, beberapa teman rumahnya di luar kota.

Pendaftaran gelombang dua, aku mau daftar lagi. Aku juga sudah janjian sama sahabatku, biar sama-sama tinggal di asrama. Namun, belum sampai hari seleksi, my mom mengganti keputusannya. Aku nggak jadi masuk asrama.

Lha, aku kemana? Katanya mau mandiri. Jadi, aku akan masuk di penjara suci. Aku akan tinggal di pesantren.

Saat itu, aku masih ragu, karena sahabatku nggak mau aku ajak tinggal di situ. Aku masih penurut, jadi, aku mendaftar tanpa dia. Namun, biar aku semangat, aku dikasih “sogokan” berupa laptop baru, padahal di situ nggak diperbolehkan membawa barang elektronik, terus senengnya di mana, haha.

Hari pertama masuk pesantren, kata My mom, beliau di rumah susah tidur karena memikirkan nasib putrinya yang manja. Berbeda dengan putrinya, sejak detik awal dia masuk kamar, dia sudah menemukan calon sahabat barunya. Jahat nggak sih? Nggak kok, hehe. Dalam situasi si putri tidak bisa mengirim kabar baiknya, maklum saja ibunya merasa ragu dengan kebahagiannya.

Badai berlalu begitu saja. Suka duka aku rasakan bersama sahabat-sahabatku di sana. Tak terasa tiga tahun berlalu, dan aku teringat sesuatu. Aku teringat rencana enam tahun yang lalu. Bukannya aku mau masuk pondok? Bukannya yang dimaksud saat itu adalah pondok ini? Aku baru sadar setelah aku akan kembali, tak tinggal di sini lagi. Dalam benakku, memang, kalau jodoh tak akan kemana. Kalau memang takdirku belajar di sini, aku pasti akan singgah di sini.

Lebih dari sekadar Ibu

Kebetulan aku mempunyai amanah yang cukup lumayan. Dari amanah itu, aku diharuskan banyak berinteraksi dengan ibu pengasuh. Dari situ, aku belajar banyak hal. Aku belajar banyak hal dengan merasakan atmosfer kebaikan, kesabaran, ketulusan. Coba banyangkan kenikmatan itu gaes.
Semua pelajaran dan kenangan itu lah yang paling mendominasi hati sampai saat ini. Sejauh apapun aku, selama apapun aku tak bertemu beliau, cinta itu tetap di hati. Alay banget aku ini.

Pengalaman paling susah dilupakan adalah saat aku mau tes masuk STIS. Jadi aku mau masuk ke STIS, aku pun harus melalui tiga tahap tes. Semua tes itu dilakukan di Surabaya. Jadi sebelum tes tentunya aku pulang dari pondok dan bersiap menuju kota itu.

Budaya dan tentunya aturan di pondok, kalau mau pulang harus ijin. Pertama ijin dilakukan kepada pengasuh. Namun, kalau tidak bisa bertemu, cukup melapor dengan pengurus. Berhubung aku mantan pengurus, jadi enak banget pulangnya, kalau nggak bisa ketemu ibu pengasuh, aku bisa dengan mudah pulang, hehe.
Namun, tiga kali berturur-turut, selalu, aku selalu ketemu ibu pengasuh. Aku pun selalu jujur, bilang mau kemana, aku pun selalu meminta doa restu. Dari situ aku mendapatkan ketenangan, aku merasa adem, nggak grogi banget waktu tes, agak percaya diri. Aku sebenarnya agak nggak percaya. Biasanya ibu pengasuh susah ditemui, karena banyak agenda beliau. Namun, nggak disangka, saat itu, ibu sedang menyiram bunga, yang lokasinya di dekat motorku.

Ya Allah, aku jadi merasa bersyukur. Aku merasa dekat banget dengan beliau.
Lalu, hasil tes terakhir keluar. Aku sangat nggak menyangka bisa diterima. Dalam benakku, mungkin ini sebagian besar karena doa dari beliau. Beliau, yang setiap aku mau berangkat tak sengaja bertemunya.

Cinta, ketidaksengajaan, tak berhenti di situ aja. Aku kuliah di Jakarta, dan ibu masih mengingatku meski mungkin setahun hanya sekali atau dua kali sowan1) padanya.

Kok bisa? Bisa karena saat aku tidak di pondok, ada santri yang katanya mirip sama aku. Kata adek-adek santri, ibu biasanya memanggil namaku, padahal yang dipanggil santri yang katanya mirip itu. Ya Allah, mendengar cerita itu, langsung bergetar hatiku. Bayangkan gaes, ketika namamu disebut-sebut oleh orang yang kamu cinta, rasa bahagianya nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.



Sekadar menengok, bertanya kabar, beberapa menit meluapkan rasa rindu, itu yang harus kulakukan jika aku pulang ke Kediri. Nggak ada acara apa-apa, cuma sekadar menuruti rasa cinta.

Pernah saat itu bertepatan dengan sebuah acara Abah. Aku sebenarnya ragu, tetapi aku memberanikan diri. Lalu, justru karena acara itu, aku disuru bantu-bantu. Aku yang jarang membantu memasak di pondok, tiba-tiba saat itu membantu ibu membuat hidangan untuk para tamu. Tinggal menyiapkan es buah rasa sirkaya, tapi rasanya sungguh bahagia.

Aku saat itu juga dipercaya untuk ikut menata meja makan. Ya Allah, padahal itu acara bersama orang penting se Jawa Timur. Aku yang nggak pernah masuk ke ruang makan keluarga, rasanya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Pernah juga saat aku singgah di sana, ibu sedang meracik jamu. Aku pun memberanikan diri masuk ke dapur. Maklum gaes, seorang santri sikap malunya harus tinggi. Seorang santri harus menghormati guru-gurunya. Santri harus sopan. Nggak jarang saat masih jadi santri, saat ingin menemui beliau, aku dan mbak yang lain diam di depan pintu, mengucap salam tiga kali, jika tidak ada jawaban, kami kembali beberapa saat lagi. Kami memang diajarkan untuk sopan santun gaes, boleh banget dicontoh kalau bertamu ke tempat lain.

Bukan sekadar ibu, aku pun meminta doa restu sebelum aku penempatan kerja. Saat itu ibu berpesan, agar aku selalu mengirim doa untuk kedua orang tuaku. Ibu agak kaget ketika aku menyebutkan tempat kerjaku, tetapi ibu mampu mengekspresikan rasa kaget itu dengan kalem. Ya Allah, rasanya nggak jadi sedih, aku terharu.

Rasa terharu itu nggak berhenti di situ. Beberapa bulan kemudian, lebaran, aku pulang dan sowan. Aku terharu ketika ibu kaget dengan hadirku. Aku terharu karena ibu masih ingat dengan doa restu yang kuminta kala itu. Bayangkan saja gaes, ratusan santri tiap tahunnya, banyak tamu dari luar pesantren yang sering sowan ke beliau, tetapi beliau masih ingat denganku (hehe alay).

Selain karena ibu ingat denganku, aku terharu karena rasa ikhlasnya. Ibu kaget dengan hadirku, mungkin karena beliau ikhlas jika tahun itu aku tidak bisa hadir di sana. Namun, alhamdulillah bu, aku masih bisa bertemu dan memandang wajah teduhmu.

Sekarang, detik ini, saat aku pertama kali menulis kerangka tulisan ini, sampai pada aku memulai menuliskan dan menyelesaikannya, aku merasa dipenuhi rasa rindu. Ibu, melihatmu, mengingat kenangan bersamamu, aku nggak bisa menahan air mataku.

Nggak tau kenapa rasa ini terlalu mendominasi hatiku. Aku bahkan jarang dengan mudah mengeluarkan air mataku karena orang tuaku. Namun, entah kenapa dia keluar begitu saja jika mengingat kerinduanku pada ibu.

Aku pernah membaca, kalau guru spiritual memang bisa lebih dari orang tua. Lagi pula, orang tua ku juga dari awal sangat menghormati beliau. Gimana anaknya nggak ikutan, orang tuanya saja dari awal sudah cinta beliau-beliau (ibu, paklik, dll).

Ibu, terima kasih atas kasih sayangmu. Terima kasih atas semua pelajaran lahir batim. Terima kasih atas doa-doamu. Aku disini bertemu dengan orang-orang baik. Aku aman, sehat, bahagia. Cuma satu yang membuat hatiku tersiksa, aku rindu padamu.

Tuhan kucinta dia
Ku ingin bersamanya
Satukan lah hatiku bersama hatinya
Bersama sama…

1) Sowan : silaturahmi, bertamu, istilah yang sering digunakan di pesantren

Wallahu a’lam
Buol, 30-31 Mei 2020.



2 komentar:

  1. tulisan paling panjang ya pin ? wkwk. ternyata sakit rindu itu lumayan

    BalasHapus
  2. Sebenernya gak terlalu panjang, mu gkin karena awalnya ditulis di kertas trus dipindah disini nambah lagi pas nyalin, hehe..
    Lumayan buat inspirasi nulis, haha

    BalasHapus